Pilkada Langsung: Sebuah Demokrasi Revolusioner yang Prematur

Pendahuluan

Indonesia sebagai sebuah bangsa besar yang berasaskan pancasila dengan menjunjung tinggi demokrasi sebagai inti kehidupan bermasyarakat. Kehidupan demokrasi yang telah berakar selalu menjadi slogan yang digunakan pihak ekskutif maupun legislatif dalam ‘menjual’ negeri ini untuk dikenal di pergaulan bangsa di dunia. Dan salah satu bentuk demokrasi yang telah diterapkan sejak awal negara ini lepas secara hukum dari penjajahan fisik dunia barat adalah diadakannya Pemilu tahun 1955 yang saat itu dilakukan dalam dua tahap, untuk memilih anggota legilatif dan anggota parlemen. Pemilu pertama ini banyak yang menganggap sebagai pemilu yang paling bersih diantara pemilu yang telah dilakukan di Indonesia. Pada era selanjutnya—era Soeharto/era orde baru—pemilu dilaksanakan dengan sistem partai yang diadakan tiap lima tahun sekali.
Dan pada tahun 2005 bunga demokrasi semakin semerbak. Betapa tidak? Pada tahun ini, untuk pertama kalinya bangsa Indonesia menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Hal ini merupakan bukti terpenuhinya (sebagian) tuntutan rakyat untuk memilih sendiri pemimpin daerahnya. Suatu perombakan dalam dunia demokrasi indonesia yang diharapkan menjadi langkah yang tepat untuk memilih orang-orang yang duduk di pemerintahan yang merupakan keinginan hati nurani rakyat sendiri, bukan karena hasil politik dagang para elit politik di daerah. Namun, dengan payung hukum yang mengatur jalannya pilkada di seluruh wilayah Indonesia serta masih adanya ketidakjelasan perundang-undangan yang mengatur pencalonan kepala daerah dengan tidak melewati jalan partai, atau calon independen, pilkada masih menyisakan berbagai permasalahan. Ditambah lagi, pemahaman rakyat di grass roots akan demokrasi yang diejawantahkan dalam pilkada masihlah dangkal. Demokrasi berarti sebuah kemenangan, jika mereka—calon mereka—kalah itu berarti belum ada demokrasi. Seperti apa yang bisa kita lihat kekisruhan yang terjadi pada Pilkada Maluku Utara yang masih menyisakan masalah. Substansi pilkada langsung tampaknya belum menjadi mekanisme terciptanya sistem politik yang benar-benar demokratis. Kalau kita cermati, bibit-bibit permasalahan semakin tampak jelas. Ada beberapa permasalahan yang krusial dan harus segera diantisipasi. payung hukum yang kurang jelas, calon yang lebih merupakan citra partai, transparasi pendanaan dan logistik, terjadinya konflik di masyarakat bawah, dan terjadinya money politics.

Pembahasan
Pilkada langsung secara teritorial memang ganya dilaksanakan di tingkat daerah, namum berimplikasi hingga tingkat nasional. Bagaimana tidak, tentu saja hajat yang besar ini akan melibatkan banyak orang dengan berbagai kepentingan yang berbeda dan cara untuk mengekspresikan jiwanya yang berbeda pula. Jika terdapat api yang menyulut kekacauan di tengah massa yang sedang tegang, maka akan segera menjadi kobaran api yang tidak terkendali. Tentunya hal ini bila dibiarkan akan menjadi permasalahan tingkat nasional, bukan lagi monopoli tanggung jawab pemerintah daerah semata-mata.
Dalam UU No. 32/2004, hal penyelenggara Pilkada menjadi bagian dari kontroversi. KPUD dipandang mudah dikemudikan oleh DPRD. Selain itu, persyaratan partai politik mengajukan calon (partai dengan 15% kursi di DPRD) juga dipandang problematik. Judicial review yang diajukan oleh beberapa LSM diluluskan oleh Mahkamah Konstitutsi.
Paska judicial review, Depdagri mengadakan konsolidasi dengan KPUD terutama dalam mengisi lubang-lubang yang ada di UU No. 32/2004. Salah satunya adalah jika terjadi keperluan untuk menunda karena bencana atau hal lain. Dikeluarkannya perpu yang disempurnakan digunakan untuk mengisi kekosongan tersebut.
Kemandirian KPUD ternyata tidak membawa kepastian maupun jaminan akan lancarnya proses Pilkada. Permasalahannya ada 3 hal setidaknya:
1. Waktu pendaftaran calon diganggu oleh masalah konflik internal partai.
2. Fanatisme pendukung partai politik yang kandidatnya tidak lulus verifikasi ataupun tidak memenangkan pilkada.
3. Tidak profesionalnya KPUD yang berdampak pada proses Pilkada setelah calon-calon tersebut terpilih.
Selain itu supervisi KPU tidak bisa optimal mengingat masalah internal KPU di pusat berkaitan dengan kasus korupsi.
Tentunya tidaklah sepenuhnya salah jika kemudian muncul berbagai pendapat yang mengatakan bahwa pelaksanaan pilkada langsung merupakan sebuah demokrasi revolusioner yang prematur. Sikap masyarakat yang masih diselimuti dengan rasa fanatik yang sangat tinggi, yang terkadang secara tidak langsung justru membawa pada sebuah keadaan yang kacau, ketika calon yang mereka dukung kalah. Serta masih rendahnya partisipasi masyarakat untuk memilih dalam pilkada langsung, yang sedikit banyak dipengaruhi dari ketidak percayaan mereka pada calon yang maju dalam pilkada yang merupakan produk dari pemerintahan orde baru. Diperparah dengan banyaknya permasalahan gugatan calon yang kalah.
Sebelum melangkah labih jauh dalam pelaksanaan pilkada langsung yang justru dikhawatirkan akan memperluas kerusuhan daerah karena pilkada, perlu dikaji permasalahan yang sangat krusial untuk dicarikan pemecahannya, sehingga akan terpilih pemimpin daerah keinginan rakyat yang diperoleh dari sebuah mesin perpolitikan yang bersih bernama pilkada langsung. Berikut ini beberapa permasalahan yang dengan segera harus ditemukan solusinya;
1. Pertama, secara yuridis, pelaksanaan pilkada secara langsung masih menimbulkan pro-kontra. Meskipun konsepnya sama dengan pemilu, pilkada berbeda dengan pemilu. Pokok permasalahannya menyangkut peran KPU dan KPUD. Ada ketidaksinkronan pada "aturan mainnya".
Undang-Undang No 32 Tahun 2004 menetapkan KPUD sebagai penyelenggara pilkada dan bertanggung jawab kepada DPRD (pasal 57 ayat 1 dan 2). Di sisi lain, Undang-Undang No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu dan UU No 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden menegaskan bahwa KPU Provinsi/Kabupaten/Kota merupakan satu kesatuan dengan KPU. Jadi, semestinya KPUD bertanggung jawab kepada KPU, tidak kepada DPRD. Jika KPUD bertanggung jawab kepada DPRD, peluang terjadi konflik politik dan konflik sosial semakin besar dan bisa menyebabkan chaos.
2. Kedua, calon-calon yang maju sangat mungkin didominasi oleh petinggi-petinggi partai politik. Memang bukan masalah jika setelah terpilih mereka (petinggi-petinggi parpol) bisa memosisikan diri sebagai milik masyarakat yang mendapat amanat rakyat, tidak memosisikan diri sebagai milik partai yang mengemban amanat partai. Tetapi, akan lebih baik lagi jika ada calon independen yang maju, tentunya mereka yang memiliki reputasi dan track record yang baik.
3. Ketiga, transparansi pendanaan dan logistik. Kita tahu, saat ini hampir semua institusi pemerintah mencantumkan pilkada sebagai bagian kerja institusinya. Selain itu, besarnya anggaran pilkada, sangat riskan terhadap "penggelapan" ke kantong pribadi. Di sini, mentalitas dan netralitas birokrasi ataupun penyelenggara diuji.
4. Keempat, terjadinya konflik di masyarakat bawah (grass roots). Sebagian masyarakat ada yang tidak mau berpartisipasi dalam pilkada karena menganggap pilkada tidak bisa mengubah kondisi. Mereka seringkali mengatakan: "Siapa pun pemimpinnya, toh tukang becak ya tetap tukang becak, buruh ya tetap buruh, apa gunanya pilkada."
Akan tetapi, pilkada secara langsung memungkinkan terjadinya dukung-mendukung terhadap calon secara fanatik. Ketidakpedulian maupun kefanatikan berpotensi memicu konflik. Terlebih lagi, jika ada calon yang melakukan black campaigne (kampanye hitam) untuk menjelek-jelakkan dan menjatuhkan lawannya. Konflik tersebut dapat meluas menjadi konflik laten (agama, suku, golongan, kelas sosial, dan lain-lain) yang berbahaya.
5. Kelima, terjadinya money politics. Money politics dalam pilkada secara langsung memang tidak seriskan pilkada melalui parlemen. Akan tetapi, bukan mustahil, pilkada besok penuh dengan money politics, mengingat pemilih dan yang dipilih berada dalam satu daerah (berbeda dengan pemilihan presiden/wakil presiden yang jangkauan wilayahnya adalah negara).
Kalaupun tidak ada money politics secara langsung, "kontrak iklan" di media massa juga dapat dikatakan sebagai money politics. Mengapa? Karena media massa adalah salah satu alat pembentukan opini, dan mereka yang beriklan adalah mereka yang punya uang. Kalau uang sudah bicara, ketika terpilih pun orientasi pertamanya adalah uang.

Penutup
Diakhir tulisan in diberikan sedikit solusi untuk pemecahan persoalan yang dikemukakan di atas, solusi ini diambil dari sebuah situs milik CSIS, sebuah lembaga swadaya masyarakat. Diantaranya; perlu untuk mengantisipasi hal-hal yang belum diatur dalam UU No. 32/2004. Dimana usulan mengajukan UU Pilkada yang tersendiri sedang dibicarakan dengan lembaga legislatif. UU No. 32/2004 menjadi ‘cantelan’ dari UU Pilkada tersebut. Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sedang disusun saat ini supaya ke depannya tidak perlu membuat perpu-perpu yang fungsinya melengkapi kekurangan UU.
Solusi jangka pendek adalah perlunya menyelesaikan permasalahan hukum seputar pengangkatan kepala daerah. Untuk jangka menengah adalah mengevaluasi DIM dan pelaksanaan Pilkada di daerah-daerah yang memiliki otonomi khusus di Aceh dan Papua. Untuk jangka panjang, perlu direvisi UU No. 32/2004 sambil menyiapkan dasar-dasar untuk UU Pilkada.